Senin, 26 Maret 2012

Revitalisasi Peran Indonesia di OKI


Sebagai salah satu anggota OKI dengan jumlah penduduknya mayoritas beragama Islam terbesar di dunia, Indonesia dituntut untuk memberikan kontribusi nyata dalam upaya mencapai perdamaian di kawasan Timur Tengah. Krisis politik yang melanda negara-negara anggota OKI sejak awal Januari 2011 menunjukkan bahwa dunia Islam saat ini membutuhkan role of model dalam proses transisi dan demokrasi. Dalam hal ini Indonesia dipandang mampu untuk berperan sebagai teladan (role of model) bagi keserasian antara Islam, modernitas dan demokrasi damai serta sebagai bridge builder hubungan Barat dan Islam. Peranan Indonesia tersebut sejalan dengan Mecca Declaration and Ten-Years Program of Actions Organization of The Islamic Conference (TYPOA-OIC) yang tidak hanya fokus pada isu politik, tetapi juga isu-isu pembangunan, sosial, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Dengan program sepuluh tahun tersebut, OKI diharapkan mampu membangun nilai-nilai toleransi, modernitas, demokrasi, memerangi terorisme, membendung Islamophobia, meningkatkan kerjasama dan solidaritas antar negara anggota, conflict prevention, penanggulangan masalah Palestina, Filipina Selatan, Kasmir yang tak kunjung usai, serta masalah-masalah yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Sebenarnya sejarah Indonesia di OKI mengalami dinamika yang cukup unik. Keanggotaan dan peran aktif Indonesia di OKI bermula sejak Organisasi Islam terbesar di dunia ini berdiri pada 25 September 1969, karena Indonesia merupakan salah satu dari 24 negara yang hadir dalam KTT I di Rabat, Maroko yang merupakan awal berdirinya OKI. Sejak saat itu peran Indonesia di OKI mengalami pasang surut. Pada tahun-tahun pertama peran Indonesia di OKI masih terbatas, bahkan keanggotaan Indonesia di OKI sempat menjadi perdebatan, baik oleh kalangan OKI maupun di dalam negeri. Ketika piagam pertama OKI dicetuskan pada tahun 1972, Indonesia menolak untuk menandatanganinya dan menahan diri untuk menjadi anggota resmi karena berdasarkan UUD 1945, Indonesia bukanlah negara Islam. Demikian juga dengan politik luar negeri Indonesia yang tergambar dalam Bebas Aktif,  tidak mendasarkan pada nilai-nilai Islam.
Namun, karena tuntutan aspirasi konstituen domestik dan tuntutan politik dalam negeri, dimana mayoritas penduduknya muslim yang tentu saja mengharapkan Indonesia bergabung dengan dunia Islam dalam merespon isu-isu internasional yang bersinggungan dengan Islam dan kaum muslimin. Adapun peran dan partisipasi aktif Indonesia di OKI baru dimulai pada tahun 1990-an, ketika presiden Soeharto untuk pertama kalinya hadir dalam KTT ke-6 OKI yang diselenggarakan di Senegal, Desember 1991. Kehadiran presiden Soeharto tersebut merupakan langkah awal perubahan kebijakan politik luar negeri Indonesia untuk berpartisipasi lebih aktif di OKI, meskipun peran Indonesia di OKI tidak terlalu dominan sebagaimana perannya di forum kerjasama multilateral seperti ASEAN dan GNB.
Diantara peran Indonesia yang menonjol antara lain pada tahun 1993, saat Indonesia menerima mandat sebagai ketua Committee of Six, yang bertugas memfasilitasi perundingan damai antara MNLF dan pemerintah Filipina. Kemudian pada tahun 1996, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Menteri (KTM-OKI) ke-24 di Jakarta. Meskipun di balik itu, Indonesia belum begitu tertarik untuk terlibat aktif dalam subsidiary organs OKI dan sejak tahun 2001, Indonesia menghentikan pembayaran kontribusi keanggotaan di sejumlah badan-badan subsider OKI mengingat manfaat yang diterima Indonesia masih rendah. Namun demikian Indonesia tetap mampu memainkan perannya dalam memberikan kontribusi untuk mereformasi OKI sebagai wadah untuk menjawab tantangan umat Islam memasuki abad ke-21. Tepatnya pada penyelenggaraan KTT OKI ke-14 di Dakar, Senegal. Indonesia mendukung pelaksanaan OIC's Ten-Year Plan of Action. Dengan diadopsinya piagam baru dan adanya transformasi di tubuh OKI, telah membuka lembaran baru yang kondusif bagi Indonesia untuk dapat lebih berperan dalam memastikan implementasi reformasi OKI tersebut. Indonesia juga tetap pada komitmen dalam menjamin kebebasan, toleransi dan harmonisasi serta memberikan bukti nyata akan keselarasan Islam, demokrasi dan modernitas. Bagi Indonesia, OKI merupakan wahana untuk menunjukkan citra Islam  yang santun dan moderat. Sebagaimana yang ditunjukkan Indonesia pada dunia internasional dalam pelaksanaan reformasi 1998 serta suksesnya Indonesia dalam menyelenggarakan pemilihan umum, baik legislatif ataupun pemilihan presiden secara langsung, umum, bebas, rahasia, adil dan jujur.
Pengalaman Indonesia tersebut dapat dijadikan rujukan bagi negara-negara anggota OKI lainnya, khususnya negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara yang sedang mengalami proses demokratisasi. Dalam mengatasi konflik, Indonesia mempunyai pengalaman yang dapat dijadikan pegangan antara lain dalam penyelesaian konflik di Aceh setelah sebelumnya mengalami perseteruan selama 30 tahun. Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka akhirnya sepakat untuk mengakhiri konflik secara damai dan saling menguntungkan. Perjanjian tersebut dicapai guna menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan cara beradab. Pendekatan semacam ini ternyata berhasil dalam penyelesaian konflik yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. Kedua kubu yang sebelumnya bertikai akhirnya sepakat untuk berunding guna mencari solusi berupa kesepakatan damai antara kubu muslim dan Kristen.
Dengan predikat tersebut, Indonesia dapat mengambil sejumlah peluang dengan menjadikan OKI sebagai Organisasi multilateral non-PBB yang dapat memberikan kontribusi nyata bagi kepentingan Indonesia di kancah internasional. Melalui OKI, Indonesia juga dapat menawarkan program-program nasional yang bisa dikembangkan oleh negara-negara anggota OKI lainnya. Sebagai contoh peningkatan pembangunan ekonomi, program anti korupsi, Good Governance, penegakkan HAM, dan hak-hak perempuan. Peluang Indonesia untuk memimpin OKI semakin terbuka pada KTT OKI tahun 2014 mendatang yang akan diselenggarakan di Jakarta. Pemerintah Indonesia memiliki modal dasar yang kuat terkait peranan-peranan di dunia internasional. Pertama, sebagai negara muslim terbesar di dunia Indonesia menjadi kekuatan penting pada abad ke 21 terkait dengan pembangunan demokrasi. Di dunia Islam –selain Malaysia dan Turki- konsep demokrasi dan toleransi sulit diterapakan secara penuh oleh negara-negara anggota OKI. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya konflik kekerasan hingga memakan korban jiwa yang tidak sedikit dalam pelaksanaan demokrasi di kawasan Timur Tengah. Kedua, sebagai ketua ASEAN, posisi Indonesia semakin diperhitungkan. Permasalahannya adalah mampu tidaknya pemerintah mengelola potensi strategis sebagai ketua ASEAN tersebut. Ketiga,Letak geografis Indonesia yang sangat strategis dapat membantu meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan Indonesia dan kawasan sekitarnya.

Disamping itu, jabatan yang diemban Indonesia sebagai ketua Parliamentary Union of OIC Member States (PUIC) pada siding keenam di Kampala, Uganda Januari 2011, memberikan kesempatan lebih bagi Indonesia untuk lebih vokal dalam menyuarakan kebijakan luar negeri dan kepentingannya. Dalam PUIC, Indonesia dapat berperan untuk mendorong peningkatan kinerja OKI ditengah tantangan globalisasi. PUIC menjadi salah satu kekuatan yang diperhitungkan tidak hanya oleh dunia Islam, tetapi juga oleh Barat Dengan mengoptimalkan peran PUIC, OIC dan subsidiary organs diharapkan  dapat mengurangi ketergantungan dunia Islam terhadap negara Barat dalam penyelesaian masalah di negara-negara anggotanya. Peluang tersebut tidak terlepas dari tantangan yang harus dihadapi Indonesia dalam mereformasi peran OKI kedepan, antara lain masalah kepentingan politis dan perbedaan pendapat antar negara anggota OKI dalam menentukan sikap, sehingga sulit bagi OKI untuk menampilkan sikap yang jelas. Sebagai contoh negara-negara Arab yang sering berbeda pendapat dalam pengambilan keputusan sehingga masalah Palestina menjadi konflik yang tak kunjung selesai. Disamping itu, posisi geografis Indonesia yang tidak berdekatan dengan titik pusat peta dunia Islam (Peripherial Position), sehingga muncul kekhawatiran akan sulit bagi Indonesia untuk memberikan pengaruhnya kepada negara-negara di kawasan Timur Tengah. Bahkan menurut Saad S.Khan, dalam bukunya Reasserting International Islam : a focus on the organization of the Islamic conference and other Islamic Institusions menyatakan terdapat empat kondisi yang menghambat kinerja OKI, antara lain meningkatnya jumlah negara angota hingga mencapai 57 negara yang mengakibatkan sulitnya menentukan konsensus (kesepakatan), munculnya perbedaan kepentingan antara negara yang maju dan berkembang, piagam OKI dinilai belum dapat menampilakan susunan organisasi dan pola hubungan organisasi yang jelas, serta kekuatan financial OKI yang masih lemah. Oleh karena itu, dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut Indonesia harus mampu mengoptimalkan perannya di kancah Internasional, seperti dalam G20, dimana Indonesia bisa bekerjasama dengan Arab Saudi dan Turki untuk bekerja sama membangun poros strategis dalam mempersatukan dunia Islam. Disamping itu Indonesia dituntut untuk memperbaiki citranya dihadapan negara-negara Arab, khususnya berkaitan dengan masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) serta meningkatkan perekonomian melalui kerjasama antar negara-negara anggota OKI, sehingga dengan kekuatan ekonomi tersebut dapat dijadikan modal untuk membangun dunia Islam yang bebas dari pengaruh hegemoni Barat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar